BACATODAY.COM – Pada 28 Oktober 2024, masyarakat adat Kepulauan Aru, Maluku, Indonesia, mengadakan aksi damai untuk menuntut pengakuan dalam perlindungan keanekaragaman hayati di tanah leluhur mereka. Aksi ini bertepatan dengan perundingan perlindungan keanekaragaman hayati global di COP16 CBD di Cali, Kolombia.
Monika Maritjie Kailey, perwakilan masyarakat Aru yang hadir di COP16, menekankan pentingnya peran masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati melalui praktik kearifan lokal. Ia menyatakan, “Masyarakat adat terbukti mampu menjaga sumber daya alam dan keanekaragaman hayati.” Ia mendesak pemerintah Indonesia dan komunitas global untuk mengakui kontribusi masyarakat adat dan memastikan distribusi sumber daya yang adil.
Kepulauan Aru merupakan salah satu area kaya keanekaragaman hayati di Indonesia, namun terancam oleh izin-izin eksploitasi yang berpotensi merusak lingkungan. Johan Djamanmona, Koordinator Aksi Damai, menegaskan bahwa menjaga Aru adalah kewajiban bagi masyarakatnya.
Dalam COP16, negosiasi mengenai penghormatan terhadap hak masyarakat adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati berlangsung sengit. Masyarakat adat mendesak pembentukan badan permanen untuk mengakui pengetahuan dan praktik tradisional mereka. Sayangnya, beberapa negara, termasuk Indonesia, menolak proposal tersebut.
Menurut Bimantara dari Perkumpulan HuMa, kebijakan perlindungan biodiversitas di Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan masyarakat adat. Sementara itu, Salma Zakiyah dari MADANI Berkelanjutan menekankan bahwa kebijakan terkait iklim juga harus melindungi hak-hak masyarakat adat.
Secara keseluruhan, sejarah menunjukkan bahwa komunitas adat di Kepulauan Aru telah berperan penting dalam menjaga keanekaragaman hayati. Pengakuan atas kontribusi mereka dalam perlindungan sumber daya alam sangat penting untuk masa depan keberlanjutan lingkungan.
Pewarta: Lisdya Shelly
Editor: Rahmat Mashudi Prayoga