Roy Shakti Sindir Pedas DPRD Kota Malang: Perda UMKM Dinilai Mencekik Pengusaha Kecil

Roy Shakti. (ist)

BACATODAY.COM – Kinerja DPRD Kota Malang tengah menjadi sorotan tajam usai disahkannya Peraturan Daerah (Perda) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dinilai merugikan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Kritik keras datang dari tokoh asal Malang, Roy Shakti, melalui unggahan sarkastik di akun Instagram pribadinya, @royshakti.

Roy Shakti, yang dikenal sebagai konsultan keuangan dan pengusaha kuliner, menyoroti kebijakan DPRD Kota Malang yang menetapkan pajak 10 persen bagi pelaku usaha dengan omzet minimal Rp15 juta per bulan. Dalam narasi bernada satire, ia menyebut DPRD Kota Malang sebagai yang “terbaik se-Indonesia” karena berani memberlakukan pajak tinggi terhadap pelaku UMKM yang menurutnya justru sedang berjuang bertahan hidup.

“Coba daerah lain ada nggak? Nggak ada… Cuman ada di Malang kawan-kawan. UMKM omzet lho ini ya, bukan profit. Omzet Rp15 juta kena pajak 10 persen. Mbok dipikir, pedagang-pedagang ini yang omzetnya Rp15 juta, modalnya paling cuma buat kondom doang,” sindir Roy dalam unggahannya.

Roy menilai, omzet Rp15 juta per bulan kemungkinan hanya menghasilkan keuntungan bersih sekitar 10 persen atau Rp1,5 juta. Jumlah tersebut bahkan di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Malang, dan kini harus dipotong pajak pula.

“DPR Malang joss! Saya sebagai warga Malang bangga punya DPR yang paling wadidaw se-Indonesia. Kerjanya joss membantu masyarakat untuk semakin… men de-ri-ta,” tutupnya.

Untuk diketahui, Raperda tersebut disahkan dalam Rapat Paripurna DPRD Kota Malang pada Kamis (12/6/2025), meski sempat memicu perdebatan sengit antarfraksi. Fraksi PKB menjadi satu-satunya yang secara terbuka menolak ketentuan tersebut dan mengusulkan agar batas omzet kena pajak dinaikkan menjadi Rp25 juta per bulan. Namun usulan itu ditolak mayoritas anggota DPRD dan pihak eksekutif.

Pemerintah dan Panitia Khusus (Pansus) DPRD berdalih bahwa batas omzet Rp15 juta sudah merupakan revisi dari usulan awal sebesar Rp5 juta. Namun, keputusan ini tetap menuai kontroversi luas, terutama di kalangan pelaku UMKM yang merasa semakin terbebani.

Kebijakan ini dinilai bertolak belakang dengan semangat pemulihan ekonomi dan pemberdayaan UMKM pascapandemi. Reaksi publik yang makin keras membuktikan bahwa kebijakan fiskal di daerah tidak bisa hanya dilihat dari angka, melainkan juga dari dampaknya terhadap pelaku usaha kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal. (rmp)