Oleh : Charles Esibikhwa dan Dhia Al Uyun*
Rumah yang Tidak Biasa
Di jantung ibu kota Jakarta yang ramai, tersembunyi dari gemerlap gedung pencakar langit dan jalan-jalan yang sibuk, terdapat sebuah komunitas luar biasa yang hanya diketahui sedikit orang—sebuah perkampungan kumuh yang terletak di tengah bayang-bayang pemakaman Tionghoa.
Di sini, di mana yang hidup berdampingan dengan kenangan akan kepergian, tiga gadis muda, Maria, Siti, dan Rani, (nama diubah untuk menyembunyikan identitas aslinya) menjalin kisah optimisme dan ketahanan yang luar biasa.
Keluarga Maria, Siti, dan Rani pergi ke Jakarta melalui proses urbanisasi, mencari daya pikat peluang yang lebih baik dan masa depan yang lebih cerah.
Namun, karena janji kota tetap tidak terpenuhi bagi banyak orang, mereka mendapati diri mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan keputusasaan.
Pemakaman China, hadiah dari Yayasan China yang baik hati kepada para penghuni daerah kumuh, menjadi tempat perlindungan yang tidak terduga.
Bagi dunia luar, kuburan adalah pengingat kematian yang suram, tetapi bagi Maria, Siti, dan Rani, itu memiliki arti yang berbeda.
Mereka melihatnya sebagai lebih dari sekedar tempat peristirahatan terakhir. Di tengah batu nisan dan kuburan yang runtuh, mereka membayangkan lantai dansa, taman bermain, dan tempat perlindungan harapan.
Memahami Kaum Miskin Kota Jakarta
Sebagai tim dari NSD (Nusantara School of Differences) Tahun 2023, kami mendapat hak istimewa untuk menghabiskan waktu bersama para warga yang tinggal di pemakaman Tionghoa ini adalah bagian dari kegiatan kami di jadwal NSD, begitulah cara kami, bertemu dengan gadis-gadis.
Berjalan bergandengan tangan dengan mereka melalui jalur sempit perkampungan kumuh, kami berkelana ke kedalaman impian dan cita-cita mereka.
Maria, jiwa yang cerdas dan penyayang, bercita-cita menjadi seorang dokter. Hatinya penuh dengan keinginan untuk menyembuhkan yang sakit dan menghibur yang menderita.
Siti, dihiasi dengan kreativitas dan tangan terampil, bercita-cita menjadi penjahit berbakat, menganyam cerita melalui kainnya.
Rani, yang termuda dari ketiganya, adalah seorang pemimpi yang bersemangat dan berani.
Dia membayangkan dirinya sebagai seorang polisi wanita yang berani, bertekad untuk menegakkan keadilan dan melindungi komunitasnya.
Impian mereka melampaui batas kuburan, menjangkau dunia luar. Belajar bahasa Inggris telah menjadi titik fokus bagi mereka karena mereka menyadari kekuatannya dalam berhubungan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang.
Mereka melihat bahasa sebagai jembatan menuju masa depan yang lebih baik dan mengabdikan diri untuk menguasainya.
Mereka berdua berbagi bahwa mereka mendapat skor masing-masing 80 dalam bahasa Inggris. Itupun mereka tidak puas dengan nilai tersebut, mereka ingin belajar dan belajar.
Solidaritas Bersama Masyarakat
Komunitas pekuburan, yang pernah terpecah oleh kesulitan, kini terikat bersama oleh harapan dan aspirasi bersama.
Ini juga berkat usaha sebuah organisasi bernama Sanggar Anak Akar. Organisasi memainkan peran penting, menghubungkan komunitas dengan peluang seperti pendidikan dan kesehatan serta memelihara impian anak-anak.
Di sini, pendidikan bukan sekedar pengejaran ilmu melainkan jalur kehidupan menuju hari esok yang lebih baik. Mereka mengubah komunitas dari perspektif anak-anak.
Terlepas dari kenyataan kemiskinan yang keras, keluarga di daerah kumuh menolak untuk menyerah pada keputusasaan.
Kebanggaan dan martabat mereka bersinar saat mereka merangkul kerja keras dan ketahanan.
Tidak ada uluran tangan yang meminta sedekah dari kami, melainkan tekad bersama untuk membangun masa depan yang lebih cerah.
Ketika waktu kami di hari itu hampir berakhir, kami meninggalkan komunitas kuburan dengan apa-apa selain cerita untuk dibagikan dan perspektif yang berbeda terhadap kehidupan.
Kisah Maria, Siti, dan Rani adalah perayaan hidup di tengah kematian—pengingat yang kuat bahwa optimisme dan harapan dapat berkembang bahkan di tempat yang paling tidak terduga.
Charles Esibikhwa (berkaos Merah) dan Dhia Al Uyun (berhijab dan berkacamata) bersama Maria dan kawan – kawan. (ist)
Merangkul Lensa Setengah Penuh
Kami mengagumi kisah ketiga gadis ini, Maria, Siti, dan Rani.
Perjalanan mereka mengungkapkan kekuatan luar biasa dari jiwa manusia. Optimisme dan impian mereka yang tak tergoyahkan mengajari kami bahwa kesulitan tidak perlu menentukan kami. Sebaliknya, itu bisa menjadi lahan subur bagi aspirasi yang tak terbatas untuk mengakar.
Kisah mereka melampaui batas-batas daerah kumuh dan menyentuh hati kami dan saya harap itu dapat menyentuh mereka yang berada di luar batas.
Melalui mata mereka, kita belajar melihat keindahan di mana orang lain mungkin menemukan keputusasaan.
Mereka menunjukkan kepada kami bahwa kuburan bisa menjadi rumah, lantai dansa, dan tempat perlindungan harapan.
Saat kita membawa kisah mereka bersama kita, biarlah itu menjadi pengingat bahwa tantangan hidup dapat dihadapi dengan keberanian dan ketangguhan.
Kita juga bisa memilih untuk melihat kaca setengah penuh dan melukis masa depan yang dihiasi dengan warna optimisme dan harapan.
Maria, Siti, dan Rani bukan hanya gadis dari komunitas kuburan; mereka adalah suar inspirasi, membimbing kita untuk merangkul keindahan hidup dalam segala kerumitan dan perbedaannya.
Cara Cerdas Membangun Ide
Mendebatkan segala cara berpikir, bukan hanya teori. GWF Hegel dalam Philosophy of Rights, 2001 menjelaskan hak, moralitas dan sistem etika melalui filsafat kebenaran yang dipelajari secara objektif sehingga dapat menjelaskan sistem berdasarkan pemaparan yang tepat.
Metode yang digunakan adalah, memulai tesis, dan kontradiksi tesis disebut antitesis untuk membuat sintesis, sebagai inovasi, yang baru.
Mengejutkan bagi kami, ketika saya melihatnya dari cara bicara Maria, Siti dan Rani. Mereka berpisah dalam dua kelompok.
Yang Satu menyebut nasi goreng, dan yang lain menyebut sate. Mereka memiliki komitmen untuk melihat segala sesuatu dalam perbedaan.
Ketika Grup Nasi Goreng mengatakan bahwa mereka tidak suka menjadi objek fotografi, Grup Sate suka menjadi objek fotografi.
Jadi, mereka mulai membangun argumen tentang fotografi terburuk dan manfaat fotografi. Dan akhirnya tidak ada kesimpulan.
Artinya, ketika mereka bertemu lagi, mereka mulai berdebat terus. Latihannya sama seperti bagaimana Hegel mengkonstruksi pemikiran mahasiswa di universitas. Tapi ada pemikiran universitas di daerah kumuh.
Dalam lensa CEDAR (Komunitas Melibatkan Perbedaan dan Agama)
dari sejarah masyarakat dan ketika mereka mulai tinggal di kuburan, sangat jelas bahwa masyarakat kuburan Tionghoa telah menjadikan kuburan sebagai rumah dan mereka tidak berniat untuk memindahkan kami dalam waktu dekat, bahkan kekhawatiran mereka adalah apa yang akan terjadi.
Jika kuburan diambil kembali oleh yayasan China. Dari tanggapan masyarakat, ini bukan lagi sekadar tempat untuk bertahan hidup, tetapi menjadi tempat untuk berkembang melainkan rumah impian menjadi hidup.
Rumah-rumah yang dulu bobrok di kuburan sekarang hidup dan ramah, bukti ketahanan dan akal keluarga.
Kuburan, yang dulu dianggap sebagai tempat kesedihan, kini menjadi simbol harapan dan kemenangan atas kesulitan.
Kuburan terus menyediakan tempat yang aman bagi anak-anak untuk merangkul keunikan mereka dan mengeksplorasi hasrat mereka.
Dampaknya melampaui bidang akademik, memelihara kecerdasan emosional, dan menumbuhkan empati di antara para siswa.
Saat Maria, Siti, dan Rani memasuki masa remaja, mereka membawa impian dan optimisme bersama mereka.
Perjalanan mereka tidak hanya mengubah tetapi juga dalam arti lain mereka menginspirasi komunitas dengan cara lain yang tak terhitung jumlahnya.
Hal terbaik yang dapat kita lakukan sebagai orang luar adalah bersolidaritas dengan mereka. Untuk merasakan kesatuan umat manusia dan melihat diri kita di dalamnya.
Warisan Harapan
Kisah Maria, Siti, dan Rani hidup sebagai suar harapan di hati mereka yang cukup beruntung untuk menjadi bagian dari perjalanan mereka.
Ketangguhan, optimisme, dan tekad mereka telah memberi kita pelajaran berharga tentang kekuatan mimpi dan kekuatan jiwa manusia.
Kisah mereka mengingatkan kita bahwa bahkan di tempat tergelap sekalipun, harapan bisa berkembang, dan mimpi bisa terbang. Ini adalah perayaan kemampuan manusia untuk mengatasi tantangan dan menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi diri kita sendiri dan orang lain.
Di luar gerbang kuburan, warisan Maria, Siti, dan Rani tetap hidup—pengingat abadi bahwa dari mana pun kita berasal atau rintangan yang kita hadapi, kita memiliki kekuatan untuk mewujudkan impian kita menjadi kenyataan.
Perjalanan luar biasa mereka terus menginspirasi kita semua untuk melihat kehidupan melalui lensa setengah penuh, merangkul optimisme dan harapan saat kita menavigasi kompleksitas keberadaan.
*Penulis : Charles Esibikwa adalah Konsultan Asset Based Community Development, Direktur Culture for Peace Development and Rights (P) Under Institute of Cultural Affairs Kenya.
*Dhia Al Uyun adalah Dosen Hukum Tata Negara, Ketua Program Studi Magister Kajian Wanita Sekolah Pascasarjana Universitas Brawijaya (UB).
* Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Pembaca yang berminat menyimak artikel ini dalam edisi Bahasa Inggris bisa mampir ke :
https://communitiesinprogress.blogspot.com/2023/08/beyond-graveyard-gates-tale-of.html?spref=fb&fbclid=IwAR205HxGv75XSaUP0gurV5qsi7yoweEDb4DgHwgJMm-qhSSBuR5ZC_sCuaY&m=1.