Setelah 95 Tahun, Suara Leluhur Nias Kembali Pulang: Repatriasi Arsip Jaap Kunst Wujudkan Dekolonisasi Budaya

Kegiatan repatriasi arsip suara jaap kunst di Nias. (ist)

BACATODAY.COM — Sebuah momen bersejarah terjadi di Desa Hilisimaetano, Nias Selatan. Untuk pertama kalinya setelah 95 tahun, rekaman suara leluhur masyarakat Nias yang direkam oleh etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst, kembali ke pangkuan komunitas asalnya. Kegiatan repatriasi arsip suara ini menjadi tonggak penting dalam upaya dekolonisasi budaya dan penguatan identitas lokal.

Rekaman yang dikembalikan merupakan dokumentasi musik dan nyanyian tradisional Nias—termasuk Hoho, tradisi vokal komunal khas Nias—yang direkam Jaap Kunst dan istrinya, Katy Kunst van Wely, pada tahun 1930 menggunakan silinder lilin. Rekaman ini menjadi arsip audio tertua dari musik Nias.

Arsip tersebut diserahkan langsung oleh Dr. Barbara Titus, etnomusikolog dan kurator koleksi Jaap Kunst dari Universitas Amsterdam, dalam sebuah upacara yang digelar Minggu (29/6/2025). Penyerahan dilakukan secara simbolik dalam bentuk flashdisk kepada keluarga dari para pelantun hoho yang direkam nyaris satu abad lalu.

“Penyerahan arsip ini bukan sekadar transfer data, melainkan pengembalian narasi dan makna kepada pemilik aslinya,” ujar Dr. Titus. “Ini adalah inti dari repatriasi: mengembalikan suara kepada komunitasnya agar dapat diakses, dirawat, dan dikembangkan.”

Dekolonisasi dan Kritik atas Eurosentrisme

Dalam kuliah umum bertajuk “Suara yang Pulang”, Dr. Titus menegaskan bahwa repatriasi arsip merupakan bagian dari gerakan dekolonisasi dan kritik atas eurosentrisme—pandangan yang menempatkan budaya Eropa sebagai pusat dan tolok ukur universal.

Langkah ini diprakarsai oleh Doni Kristian Dachi, peneliti independen asal Nias, yang secara proaktif menghubungi Dr. Titus setelah membaca berita tentang repatriasi serupa di NTT.

Dialog Lintas Generasi dan Budaya

Dr. Titus didampingi oleh Rani Jambak, musisi dan peneliti musik asal Medan yang kini terlibat dalam proyek riset internasional Re:Sound. Keduanya menetap di rumah adat yang difungsikan sebagai homestay untuk merasakan langsung kehidupan masyarakat dan membangun kedekatan kultural.

Mereka turut menyaksikan berbagai kegiatan adat seperti Orahu (musyawarah adat), pengukuhan tokoh adat, serta latihan hoho oleh sanggar lokal. Dalam momen mengharukan, nyanyian hoho dari arsip 1930 diperdengarkan, lalu dilanjutkan dengan lantunan hoho langsung oleh generasi penerus para penyanyi asli.

“Saya merinding saat suara dari masa lalu itu disambut dengan suara yang masih hidup hari ini,” kata Rani Jambak.

Akses, Pendidikan, dan Potensi Ekonomi Budaya

Dalam forum ilmiah di Universitas Nias Raya, Rani Jambak dan Dr. Titus menyoroti pentingnya memanfaatkan arsip budaya tak benda untuk pendidikan, pelestarian, dan pariwisata budaya.

Rektor Universitas Nias Raya, Dr. Martiman Suaizisiwa, menegaskan pentingnya mengakses kembali warisan budaya yang selama ini tersebar di berbagai institusi Eropa.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan, Anggraeni Dachi, mengajak masyarakat untuk tidak hanya menyimpan arsip tersebut, tetapi menjadikannya sumber inspirasi untuk karya dan inovasi budaya kontemporer.

Kembali ke Titik Nol: Di Mana Suara Direkam Pertama Kali

Puncak peristiwa terjadi di halaman rumah mendiang Duada Jofu, tempat di mana Jaap Kunst merekam hoho pada tahun 1930. Kini, cucunya, Rawatan Dachi—maestro hoho dan Camat Maniamölö—memimpin penampilan yang menggema dari titik yang sama, nyaris satu abad kemudian.

Kunjungan Dr. Barbara Titus dan Rani Jambak masih berlanjut ke desa-desa lain yang pernah dikunjungi Jaap Kunst, dalam rangka membangun jejaring baru dan menyelami lebih jauh kekayaan budaya Nias. (rmp)